Thursday 16 August 2012

Tanda Tanda Malam Lailatul Qadar - Lailatul Qadar atau Lailat Al-Qadar merupakan malam penting yang terjadi pada bulan Ramadhan. Dalam Al-Qur`an, malam Lailatul Qadar digambarkan sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan.

Tanda Tanda Malam Lailatul Qadar

Menurut Hadist ada beberapa tanda-tanda malam Lailatul Qadar akan datang. Beberapa tanda tersebut bisa diketahui sebagai berikut:

1. Bulan Berada di Posisi Separuh Lingkaran

Abu Hurairoh radliyallahu'anhu pernah bertutur: Kami pernah berdiskusi tentang lailatul qadar di sisi Rasulullah shallahu'alaihi wa sallam, beliau berkata :

"Siapakah dari kalian yang masih ingat tatkala bulan muncul, yang berukuran separuh nampan." (HR. Muslim)

2. Udara dan Suasana Menjedi tenang dan Hening Seketika

Ibnu Abbas radliyallahu’anhu berkata: Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam bersabda:

"Lailatul qadar adalah malam tentram dan tenang, tidak terlalu panas dan tidak pula terlalu dingin, esok paginya sang surya terbit dengan sinar lemah berwarna merah" (Hadist hasan)

3. Suasana Malam ketika Itu terasa sejuk dan nyaman

"Lailatul qadar adalah malam yang terang, tidak panas, tidak dingin, tidak ada awan, tidak hujan, tidak ada angin kencang dan tidak ada yang dilempar pada malam itu dengan bintang (lemparan meteor bagi setan)" (HR. at-Thobroni dalam al-Mu'jam al-Kabir 22/59 dengan sanad hasan)

4. Keesokan Harinya Matahari tidak bersinar Kuat

Dari Ubay bin Ka’ab radliyallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam bersabda:

"Keesokan hari malam lailatul qadar matahari terbit hingga tinggi tanpa sinar bak nampan" (HR Muslim)

Arti Malam Lailatul Qadar

Menurut Quraish Shihab, kata Qadar sesuai dengan penggunaannya dalam ayat-ayat Al Qur'an dapat memiliki tiga arti yakni :

1. Penetapan dan pengaturan sehingga Lailat Al-Qadar dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia. Penggunaan Qadar sebagai ketetapan dapat dijumpai pada surat Ad Dukhan ayat 3-5 : Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Quran) pada suatu malam, dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan semua urusan yang penuh hikmah, yaitu urusan yang besar di sisi Kami

2. Kemuliaan. Malam tersebut adalah malam mulia tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya Al-Quran. Penggunaan Qadar yang merujuk pada kemuliaan dapat dijumpai pada surat Al-An'am (6): 91 yang berbicara tentang kaum musyrik: Mereka itu tidak memuliakan Allah dengan kemuliaan yang semestinya, tatkala mereka berkata bahwa Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada masyarakat

3. Sempit. Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surat Al-Qadr. Penggunaan Qadar untuk melambangkan kesempitan dapat dijumpai pada surat Ar-Ra'd ayat 26: Allah melapangkan rezeki yang dikehendaki dan mempersempit (bagi yang dikehendaki-Nya).

Friday 13 April 2012

Wudhu, Bersihkan Diri Sucikan Hati

Wudhu, Bersihkan Diri Sucikan Hati

Artikel terkait:


Ali bin Husein apabila berwudhu, wajahnya berubah menjadi pucat. Tatkala ditanya, “Apa yang terjadi dengan Anda saat berwudhu?” Beliau menjawab, “Tahukah kalian, dihadapan siapa aku hendak berdiri menghadap?”
Adalah Ali bin Husein, apabila beliau berwudhu maka wajah beliau berubah menjadi pucat. Tatkala beliau ditanya, “Apakah yang terjadi pada Anda saat berwudhu?” Beliau menjawab, “Tahukah kalian, dihadapan siapa aku hendak berdiri menghadap?”
Lazimnya, tatkala seseorang hendak menemui seorang pejabat yang dihormati dan dicintai misalnya, ia akan memperbagus tampilan sebelum bertemu. Ia akan bersih diri, memakai pakaian yang paling bagus dan memakai minyak yang paling wangi. Ia pun akan bercermin dan meneliti secara detil hal-hal yang sekiranya dapat mengundang kesan tidak baik dalam pandangan pejabat yang dimaksud. Itupun disertai perasaan gugup, takut dan sekaligus berharap akan mendapat sambutan yang baik. Begitulah keadaan seseorang yang hendak menghadap pejabat. Lantas bagaimana keadaan seorang hamba yang sedang mempersiapkan diri untuk menyambut panggilan Pencipta-nya untuk menghadap?
Alasan inilah yang membuat raut wajah Ali bin Husein berubah. Beliau memahami bahwa shalat berarti menghadap dan menyambut undangan Pencipta yang berkuasa untuk berbuat apapun terhadapnya. Sedangkan wudhu adalah persiapan untuk menyambut undangan agung tersebut.
Adapun sekarang, betapa sedikit orang yang mencapai penghayatan demikian dalam. Wudhu hanya sebatas formalitas dan aktifitas lahir yang tidak menyertakan amal bathin. Sehingga, amal yang sejatinya besar ini tidak banyak memberikan pengaruh yang signifikan ke dalam hati, selanjutnya nihil pula dampaknya dalam amal perbuatan.

Wudhu dan Kesucian Hati
Sejatinya, wudhu memiliki dua dimensi kesucian yang menjadi tujuan. Suci lahir dan suci batin. Sisi lahir adalah sucinya anggota badan, dan sisi batinnya adalah penyucian hati dari noda dosa dan maksiat dengan bertaubat. Oleh karena itu Allah menyandingkan antara taubat dan thaharah (bersuci) dalam firmanNya,
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam Bada’i al-Fawa’id menjelaskan ayat ini, “Bersuci yang dimaksud ada dua hal; bersuci dari hadits dan najis dengan air, dan bersuci dari kesyirikan dan kemaksiatan dengan taubat. Dan poin kedua inilah yang menjadi inti. Karena bersuci dengan air tidaklah berguna tanpa bersuci dari syirik dan maksiat. Maka mempersiapkan dan mencurahkan kesungguhan untuk mendapatkan kesucian hati lebih diprioritaskan. Sebagaimana seorang hamba tatkala masuk Islam, dia terlebih dahulu membersihkan kesyirikan dengan bertaubat, baru kemudian bersuci dari hadats dengan air.”
Pada kesempatan yang lain, dalam Kitab Ighaatsatul Lahfaan beliau juga berkata, “Dengan hikmah-Nya, Allah menjadikan kebersihan sebagai persyaratan untuk berjumpa dengan-Nya, karena itu seorang yang melaksanakan shalat tidak boleh bermunajat dengan-Nya kecuali setelah bersuci. Demikian pula Allah menjadikan kebersihan dan kebaikan sebagai syarat untuk masuk jannah, sehingga tidak masuk jannah kecuali orang yang baik dan suci. Itulah dua jenis kesucian, suci badan dan suci hati. Karena itu, orang yang selesai berwudhu diperintahkan berdoa,
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ ، اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ التَّوَّابِينَ ، وَاجْعَلْنِي مِنَ الْمُتَطَهِّرِينَ.
“Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Ya Allah, jadikan aku termasuk orang-orang yang banyak bertaubat dan jadikan aku termasuk orang-orang yang beriman.”  (Lafal ini diriwayatkan oleh Tirmidzi, shahih dan memiliki beberapa syawahid, seperti yang diutarakan oleh al-Albani dalam al-Irwa’)
Kebersihan hati diperoleh dengan bertaubat dari dosa, sedangkan kebersihan badan bisa diperoleh dengan air. Tatkala seseorang telah memiliki dua macam kebersihan, maka ia layak untuk berjumpa dengan Allah.”

Dan Dosa pun Berguguran
Dosa bagi hati, laksana penyakit bagi badan. Setiap kali bertambah dosa, bertambah pula tingkat keparahan penyakit yang diderita oleh hati. Hingga tatkala tak diiringi dengan penawar, sementra penyakit bertambah akut, lambat laun hati akan mati. Dosa juga menimbulkan karat di hati. Setiap kali jasad melakukan satu dosa, muncullah satu bercak hitam di hati. Jika tidak dibersihkan dan dosa terus bertambah, maka bercak hitam akan memenuhi permukaan hati, hingga hati menjadi buta, gelap dan tertutup dari cahaya iman. Inilah ‘rona’ yang dimaksud dalam firman Allah,
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (QS. Muthaffifiin;14).
Wudhu menjadi salah satu penggugur dosa dan pembersihnya, hingga racun hati menjadi tawar, penyakit menjadi hilang dan karat di hati menjadi bersih. Nabi shallallahu alaihi wasallam,
“إِذَا تَوَضّأَ الْعَبْدُ الْمُسْلِمُ (أَوِ الْمُؤْمِنُ) فَغَسَلَ وَجْهَهُ، خَرَجَ مِنْ وَجْهِهِ كُلّ خَطِيئَةٍ نَظَرَ إِلَيْهَا بِعَيْنَيْهِ مَعَ الْمَاءِ (أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ) فَإِذَا غَسَلَ يَدَيْهِ خَرَجَ مِنْ يَدَيْهِ كُلّ خَطِيئَةٍ كَانَ بَطَشَتْهَا يَدَاهُ مَعَ الْمَاءِ (أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ) فَإِذَا غَسَلَ رِجْلَيْهِ خَرَجَتْ كُلّ خَطِيئَةٍ مَشَتْهَا رِجْلاَهُ مَعَ الْمَاءِ (أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ) حَتّى يَخْرُجَ نَقِيّاً مِنَ الذّنُوبِ”.

“Jika seorang hamba Muslim atau Mukmin berwudhu lalu membasuh wajahnya, akan keluar dari wajahnya setiap dosa yang dilakukan kedua matanya bersamaan dengan keluarnya air atau tetesan air yang terakhir. Jika dia membasuh tangannya, akan keluar dari kedua tangannya setiap dosa yang pernah diperbuat oleh kedua tangannya itu bersama air atau tetesan air yang terakhir. Jika dia membasuh kedua kakinya, akan keluar setiap dosa yang pernah diperbuat oleh kedua kakinya bersama dengan air atau tetesan air yang terakhir, sehingga dia akan keluar dalam keadaan benar-benar bersih dari dosa.” (HR. Muslim)
Wudhu pun harus Khusyu’
Seyogyanya, kita hadirkan hati dan batin kita saat berwudhu. Sadar bahwa anggota wudhu yang kita basuh kerap melakukan dosa, dan kita berharap agar Allah menggugurkan dosa bersamaan tetesan air wudhu. Bukankah apa yang kita basuh di saat wudhu adalah anggota badan yang sering bersentuhan langsung dengan maksiat? Mata memandang yang haram berkali-kali, tangan berbuat aniaya bertubi-tubi, kaki melangkah ke tempat-tempat yang tidak Allah ridhai? Begitupun dengan lisan yang tak terkendali, hingga disunnahkan pula untuk berkumur sebagai penyuci.
Sertakan pula penyesalan dan taubat hati dari segala hal yang bisa mengotori, agar ia menjadi suci. Inilah yang disebut dengan wudhunya hati atau wudhu batin. Seperti perbincangan di antara dua ulama dan ahli ibadah berikut ini,
Suatu hari, Isham bin Yusuf menghadiri majlis Hatim Al-Asham, Isham bertanya, “Wahai Abu Abdirrahman, bagaimanakah cara Anda shalat?” Hatim menjawab, “Apabila masuk waktu shalat aku berwudhu dengan lahir dan bathin.” Isham bertanya, “Bagaimana maksud wudhu lahir dan bathin itu?” Hatim menjawab, “Wudhu lahir sebagaimana biasa, yaitu membasuh semua anggota wudhu dengan air. Sementara wudhu bathin adalah membasuh hati dari tujuh perkara; bertaubat, menyesali dosa yang dilakukan, tidak tergila-gila oleh dunia, tidak mencari pujian orang (riya’), tidak gila jabatan, membersihkan dari kebencian dan kedengkian.”
Antara Air dan Sucinya Hati
Bersuci dengan air memang memiliki kaitan erat dengan bersihnya hati dari dosa. Karenanya, dalam salah satu doa Nabi shallalahu alaihi wasallam berbunyi,
اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَاىَ بِمَاءِ الثَّلْجِ وَالْبَرَدِ

“Ya Allah cucilah dosa-dosaku dengan air, dan salju dan barad (air hujan es).” (HR Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya, “Bagaimana Allah membersihkan kesalahan-kesalahan dengan air dan salju? Bukankah air panas lebih efektif untuk membersihkan kotoran?”
Beliau menjawab, “Kesalahan-kesalahan menyebabkan hati menjadi panas, kotor dan lemah. Akibatnya, hati menjadi lembek, sementara api syahwat berkobar di dalamnya. Kesalahan dan dosa ibarat kayu bakar yang tersulut api, semakin banyak kesalahan, maka nyala api di hati semakin besar, dan hati semakin lemah. Air akan membersihkan kotoran sekaligus mematikan api. Apabila air tersebut dingin, ini bisa menjadikan badan lebih kuat dan lebih kokoh. Bila air tersebut disertai dengan salju dan barad, maka akan lebih menyegarkan, menguatkan dan mengokohkan badan. Dengan demikian, ia lebih banyak menghilangkan dampak dan pengaruh dari  kesalahan-kesalahan tersebut.”
Begitulah keagungan wudhu, hingga kita pun tahu, tak ada satu syariatpun yang digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya, kecuali mengandung maslahat yang besar. Bukan sekedar formalitas, apalagi hanya iseng. Bahwa ada yang belum merasakan efeknya secara signifikan, itu dikarenakan minimnya pengetahuan, di samping masih jauh dari pengamalan yang benar. Semoga wudhu kita bisa menjadi pembersih bagi diri dan hati kita. (Abu Umar Abdillah-arrisalah)

Thursday 22 March 2012

Taqwa Membuahkan Furqan


Misi penciptaan manusia oleh Allah سبحانه و تعالى ke muka bumi ialah untuk beribadah kepada Allah سبحانه و تعالى semata. Perkara ini harus difahami dan dihayati oleh setiap hamba Allah yang mengaku beriman. Alangkah naifnya bila ada seorang manusia yang berhasil meraih aneka keberhasilan duniawi namun ia tidak memahami bahwa misi hidupnya adalah pengabdian kepada Rabb Pencipta jagat raya yang sejatinya telah mengizinkan dirinya meraih berbagai keberhasilan itu
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi (beribadah) kepada-Ku." (QS. Adz-Dzaariyat [51] : 56)
Selanjutnya, Allah سبحانه و تعالى menjelaskan bahwa segenap bentuk pengabdian atau ibadah yang dilakukan manusia di dunia hendaklah ditujukan dalam rangka menggapai taqwa kepada Allah سبحانه وتعالى .
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Hai manusia, ber-ibadahlah (sembahlah) Rabbmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah [2] : 21)
Demikian pula halnya dengan syariat ibadah syiam (berpuasa). Allah سبحانه و تعالى telah mewajibkan orang beriman mengerjakan puasa agar meraih taqwa kepada Allah سبحانه و تعالى .
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah [2] : 183)
Taqwa kepada Allah سبحانه و تعالى merupakan perkara yang sedemikian pentingnya, sehingga tidak ada seorangpun khotib jum’at menyampaikan khutbahnya kecuali mesti mengandung nasihat taqwa kepada jama’ah sholat jum’at. Selanjutnya biasanya sang khatib mengutip ayat Al-Qur’an berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam." (QS. Ali Imran [3] : 102)
Bila Allah سبحانه و تعالى memerintahkan orang beriman agar bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa, berarti ada pula sebagian orang yang mengaku beriman tidak mencapai taqwa yang sebenar-benarnya alias taqwa yang tidak sebagaimana dikehendaki Allah سبحانه و تعالى . Bagaimanakah taqwa yang sebenar-benarnya taqwa itu? Apakah indikatornya?
Ternyata di dalam Al-Qur’an kita jumpai ayat yang menjelaskan bahwa orang yang bertaqwa kepada Allah سبحانه و تعالى niscaya akan memperoleh furqan.
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إن تَتَّقُواْ اللّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَاناً وَيُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
"Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan . Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar." (QS. Al-Anfaal [8] : 29)
Seorang Muttaqin diberikan Allah سبحانه و تعالى karunia besar berupa “furqan” (kemampuan membedakan antara al-haq/kebenaran dengan al-bathil/kebatilan). Seorang muttaqin tidak mudah hanyut mengikuti arus kebanyakan manusia yang sudah terbiasa mencampur-adukkan keduanya. Jelas ini merupakan buah taqwa yang sangat penting dan mendasar. Inilah di antara indikasi utama seseorang tidak sekedar bertaqwa kepada Allah سبحانه و تعالى tetapi bahkan mencapai sebenar-benarnya taqwa. Dan Allah سبحانه و تعالى melarang keras manusia mencampuradukkan antara al-haq dengan al-bathil.
وَلاَ تَلْبِسُواْ الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُواْ الْحَقَّ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
"Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah [2] : 42)
Bila seseorang, apalagi suatu masyarakat, sudah terbiasa mencampuradukkan antara al-haq dengan al-bathil, maka masyarakat itu bakal mengorbankan al-haq dan memenangkan al-bathil. Penulis sangat khawatir bahwa gejala inilah yang telah mendominasi masyarakat kita, sehingga tidak ada satu kasuspun yang terjadi di negeri ini kecuali penyelesaiannya tidak sampai menyentuh akar masalahnya. Mengapa? Karena sebagian besar fihak yang bertanggung-jawab sudah “tahu sama tahu” bahwa mereka semua terlibat di dalam menyembunyikan al-haq. Maka dalam masyaratkat seperti itu selalu saja yang keluar sebagai “pemenang” adalah al-bathil. Itulah yang Allah سبحانه و تعالى sebutkan di dalam ayat di atas. Bahwa jika manusia mengabaikan larangan mencampuradukkan al-haq dengan al-bathil pasti mereka bakal menyembunyikan al-haq. Dan di lain sisi mereka bakal “memenangkan” al-bathil. Dan itu berarti bahwa mayoritas manusia yang mengaku beriman di dalam masyarakat tersebut belum mencapai taqwa kepada Allah سبحانه و تعالى dengan sebenar-benarnya taqwa...! Sebab terbukti bahwa ketaqwaan yang mereka miliki tidak sampai menghasilkan furqan.
Lalu bagaimanakah kita dapat membedakan antara al-haq dengan al-bathil itu? Adakah tolok ukur yang jelas bahwa seseorang telah meraih taqwa yang menghasilkan furqan atau kemampuan membedakan antara al-haq/kebenaran dengan al-bathil/kebatilan? Apalagi kita yang hidup di era modern ini dimana fitnah telah begitu merajalela, sanggupkah kita tetap melihat bahwa yang benar itu adalah benar dan yang batil itu adalah batil? Padahal seruan dan ajakan yang berkumandang dewasa ini sedemikian banyak dan beraneka-macamnya. Kita kenal adanya seruan kepada Islam, kapitalisme, komunisme, liberalisme, sosialisme, pluralisme, humanisme, sekularisme, hedonisme, pragmatisme, ateisme, demokrasi, nasionalisme dan lain-lainnya.
Kalau kita merujuk kepada ucapan Allah سبحانه و تعالى di dalam Kitabullah Al-Qur’an, ternyata betapapun banyak dan beraneka-ragamnya seruan di tengah dunia modern penuh fitnah dewasa ini, pada akhirnya Allah سبحانه و تعالى menerangkan bahwa pada hakikatnya hanya ada dua seruan saja: ajakan kepada al-haq/kebenaran dan ajakan kepada al-bathil/kebatilan. Tidak ada bentuk ajakan selain kedua jenis tersebut.
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
"Kuasa Allah, yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah Al-Haq (kebenaran) dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah Al-Bathil (kebatilan), dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar." (QS. Al-Hajj [22] : 62)
Berdasarkan ayat di atas berarti tolok-ukur perkara furqan ini menjadi sangat sederhana. Barangsiapa mengajak kepada Allah سبحانه و تعالى berarti ia mengajak kepada al-haq/kebenaran. Dan barangsiapa mengajak kepada selain Allah سبحانه و تعالى berarti ia sedang mengajak manusia kepada al-bathil/kebatilan.
Artinya, bilamana ada seseorang atau suatu kelompok, golongan atau partai mengaku dirinya sebagai “pembela kebenaran”, maka kita tinggal minta mereka menjelaskan: apa sih yang anda maksud dengan kebenaran? Jika penjelasannya panjang lebar, berputar-putar dan menggunakan berbagai istilah dan uraian canggih namun pada intinya tidak secara tegas dan jelas menyatakan bahwa kebenaran yang dibela adalah Allah سبحانه و تعالى dan segala yang terkait dengan Allah سبحانه و تعالى (yakni nilai-nilai Ilahi, dien Allah, aturan Allah serta hukum Allah) berarti orang dan kelompok tersebut berdusta. Mereka sesungguhnya tidak membela al-haq/kebenaran. Sebab jelas sekali Allah berfirman bahwa “Kuasa Allah, yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah Al-Haq (kebenaran)...” Dan sebaliknya Allah سبحانه وتعالى menyatakan bahwa: “...dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah Al-Bathil (kebatilan)...” Allah menghendaki agar setiap mukmin hanya dan hanya mengajak kepada kebenaran yang datangnya dari Allah Rabb semesta alam bukan selain daripada itu. Artinya, setiap "pejuang kebenaran" sejati hanya mengajak manusia ramai untuk menuju kepada Allah saja dan apa-apa yang berkaitan dengan Allah. Ia hanya mengajak manusia kepada dien Allah, nilai-nilai Allah dan hukum Allah, bukan yang selain daripada itu.
Dan perlu diketahui pula bahwa mampu membedakan antara al-haq dengan al-bathil merupakan perkara yang perlu ditindak-lanjuti lebih jauh lagi. Sebab faktanya ada orang yang sanggup membedakan antara kebenaran dengan kebatilan. Tetapi nyatanya ia tidak mau atau tidak sanggup berfihak kepadanya. Demikian pula, ada orang yang sudah tahu bahwa yang batil itu batil, tetapi ia tidak mau atau tidak sanggup meninggalkan/menjauhinya. Kepada “al-haq” itulah setiap mukmin memberikan wala’-nya (loyalitas) sebagai aplikasi kalimat istbat (peneguhan) “ill-Allah”. Dan kepada “al-bathil” atau “adh-dholal” (kesesatan) ia melakukan bara’ah-nya (pemutusan hubungan) sebagai aplikasi kalimat nafyi (penafian) “Laa ilaaha”.
Oleh karenanya doa yang kita panjatkan kepada Allah سبحانه و تعالى berbunyi:
اللهم أرنا الحق حقا وارزقنا اتباعه وأرنا الباطل باطلا وارزقنا اجتنابه إنك سميع مجيب
"Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami bahwa yang benar itu adalah benar dan berilah kami kemampuan untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah kepada kami bahwa yang batil itu adalah batil dan berilah kami kemampuan untuk menjauhinya. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa."
Seorang Muttaqin tidak puas hanya dengan kemampuan melihat yang benar sebagai kebenaran. Tapi lebih jauh lagi ia memohon kepada Allah agar dirinya memiliki wala’ (loyalitas) untuk selalu berfihak kepadanya. Demikian pula, ia tidak puas hanya dengan kemampuan melihat yang batil sebagai kebatilan, tetapi ia memohon lebih lanjut agar dirinya senantiasa bara (berlepas diri/memutuskan hubungan) dengan al-bathil.
(eramuslim.com.posting by abudzar)

Sunday 12 February 2012

PENGINJIL GILA..BETAWI KO' DIMURTADKAN DENGAN ALQURAN.


Sebuah LSM Penginjilan yang menamakan diri Staff Isa Dan Islam (SIDI) aktif menyuplai materi pendangkalan akidah untuk gerakan kristenisasi kepada umat Islam. Berbagai aktivitasnya antara lain kursus perbandingan agama dan pembagian buku dan brosur pemurtadan secara gratis.
Dalam setiap aktivitas dan kajiannnya, para penginjil itu selalu mengutip ayat-ayat Al-Qur'an untuk mendukung doktrin Ketuhanan Yesus. Dalam profil yang dipampang di website anislam.com, para penginjil itu mengaku sebagai “pengikut Isa Al-Masih yang terbeban menolong orang Kristen maupun orang Islam untuk memahami ajaran Al-Qur’an maupun Alkitab tentang pribadi Isa Al-Masih.”
Dalam setiap aktivitas dan kajiannnya, para penginjil itu selalu mengutip ayat-ayat Al-Qur'an sedemikian rupa yang disandingkan dengan ayat Bibel untuk mendukung doktrin Ketuhanan Yesus. Dalam profil yang dipampang di website anislam.com, para penginjil itu mengaku sebagai “pengikut Isa Al-Masih yang terbeban menolong orang Kristen maupun orang Islam melalui dialog agama untuk memahami ajaran Al-Qur’an maupun Alkitab tentang pribadi Isa Al-Masih.”
Secara spesifik, para penginjil SIDI membidikkan gerakan kristenisasi kepada berbagai suku mayoritas Muslim di tanah air, antara lain suku Betawi. Dalam rubrik “Jalan Keselamatan,” para mereka mengajarkan tuntunan memurtadkan umat Islam suku Betawi melalui dua tahab, berdasarkan ayat-ayat Al-Qur'an dan Bibel.
Dalam tahap pertama, Penginjil SIDI memaparkan bahwa langkah pertama memperoleh keselamatan adalah mencari jalan yang lurus sesuai dengan Al-Qur'an surat Al-Fatihah 6: “Tunjukilah kami jalan yang lurus.”
Langkah selanjutnya, mengakui Yesus sebagai jalan yang lurus karena Al-Qur'an menyatakan: Yesus dilahirkan sebagai seorang anak laki-laki yang suci (Qs 19:19); diberi gelar “Kalimat Allah” (Qs 3:35, 39); merupakan “Tiupan Roh dari Allah” (Qs 4:171); unik dalam mengerjakan mukjizat menyembuhkan orang buta, orang sopak, menghidupkan orang mati, memberi hidangan dari langit (Qs 3:39; 5:114).
Langkah ketiga adalah mengakui kebenaran Injil sebagai Kabar Baik yang dibawa oleh Yesus (Qs 3:84).
Langkah keempat, mengimani sifat Allah yang dominan dalam surat Al-Fatihah 1, yaitu sebagai Ar-Rahman dan Ar-Rahim (Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang). Manifestasi sifat Allah ini adalah hari raya Idul Adha, yang bermakna pengorbanan Yesus di tiang salib untuk menebus dosa manusia.
Bila ditelaah secara benar dan proporsional, ayat-ayat Al-Qur'an yang dikutip tersebut, justru memperkuat akidah tauhid, meneguhkan kebenaran Islam dan menegaskan kekafiran agama Kristen. Berikut penjelasannya:
Pertama, Ayat “ihdinas Shiraathal mustaqiim” (Tunjukilah kami jalan yang lurus) dalam Al-Qur'an surat Al-Fatihah 6 sama sekali tidak mengajak umat untuk menuhankan Yesus.
Kata “ihdina” pada ayat ini berarti permohonan kepada Allah agar senantiasa dibimbing dengan hidayah-Nya baik hidayah irsyad wat-taufiq supaya senantiasa berpegang teguh di jalan Allah. Jalan lurus yang dimaksud dijelaskan pada ayat berikutnya: “Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerah­kan nikmat kepada mereka” (pangkal surat Al-Fatihah 7).
Jadi, jalan lurus yang dikejar umat Islam bukan jalan agama Kristen, tapi jalan kebenaran dalam bimbingan dan ridha Allah yang telah dianugerahkan kepada hamba-hamba-Nya yang telah diberi nikmat, yaitu: para rasul, nabi, shiddiqin (orang-orang yang jujur) dan para syuhada (yang gugur syahid membela agama-Nya).
Ujung ayat 7 surat Al-Fatihah semakin menegaskan bahwa jalan yang lurus itu bukan jalan Kristen dan Yahudi: “Bukan pula jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat” (ujung surat Al-Fatihah 7).
Maksud “orang-orang yang telah dimurkai Allah” (al-maghdhub) adalah orang Yahudi, karena mereka beragama tanpa memakai petunjuk para nabi padahal mereka mengetahuinya. Sedangkan kaum yang tersesat (ad-dhollin) adalah orang Kristen yang dalam praktik agamanya tidak memakai petunjuk agama karena tidak mengetahuinya. Salah satu kesesatannya adalah bertuhan kepada Tuhan Trinitas yang terdiri dari 3 oknum Tuhan Bapak, Tuhan Anak (Yesus) dan Tuhan Roh Kudus.
Kedua, mengakui Isa sebagai jalan yang lurus adalah keimanan yang benar, asalkan proporsional tidak kebablasan. Secara proporsional, jalan lurus yang diajarkan Nabi Isa adalah jalan tauhid: “Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan Tuhanmu, karena itu sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus” (Qs Ali Imran 51, Az-Zukhruf 64).
Selain akidah tauhid, jalan lurus Nabi Isa yang tak kalah pentingnya adalah estafeta kenabian. Sebelum meninggalkan dunia, Nabi Isa berwasiat kepada para muridnya tentang nubuat kedatangan Nabi Muhammad SAW (Qs Ash-Shaff 6, Al-A’raf 157).
Dengan ayat-ayat itu, jika penginjil SIDI mengaku konsisten dengan jalan lurus Nabi Isa, maka mereka harus masuk Islam dan mengakui kenabian Muhammad SAW.
Terkait mukjizat Nabi Isa yang dikisahkan Al-Qur'an, justru semakin meneguhkan ajaran Tauhid, karena semua mukjizat itu terjadi “bi-idznillah” (dengan izin Allah). Seharusnya, jika kagum kepada mukjizat Nabi Isa harus ditujukian kepada Allah. Kagumilah Tuhannya Nabi Isa yang memberi mukjizat.
Ketiga, Para penginjil tidak usah menggurui umat Islam supaya mengakui keberadaan (eksistensi) kitab Injil yang diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Isa. Umat Islam di manapun wajib mengimani Injil sebagai hudan (petunjuk) dan nuur (cahaya) yang berlaku khusus untuk bani Israel, karena misi nabi Isa adalah khusus untuk bani Israel (Qs Ali Imran 49).
Tapi Injil yang diwahyukan kepada Nabi Isa itu bukanlah empat Injil maupun surat-surat Paulus yang tercantum dalam Bibel. Karena banyak ajaran Bibel yang bertentangan dengan Al-Qur'an, misalnya: Yesus dinubuatkan sebagai anak durhaka (Markus 15:28) yang menghalalkan miras (Yohanes 2:7-11).
Keempat, karena mengimani Allah sebagai Ar-Rahman dan Ar-Rahim, maka umat Islam menolak doktrin dosa warisan Adam. Dengan sifat Maha Penyayang, Pengasih dan Pengampun, Allah menjanjikan rahmat dan ampunan kepada hamba-Nya yang bertobat (Qs Al-Ma`idah 74, az-Zumar 53-54). Maka ketika Adam dan Hawa bertobat sebelum keluar dari surga, Allah pun menerima tobat Nabi Adam dan memberikan ampunan kepadanya (Qs Al-A'raf 23, Al-Baqarah 37, Thaha 122).
Sifat rahman-rahim Allah versi Islam jauh berbeda dengan versi Kristen. Menurut Islam, Allah mengampuni dosa manusia dengan taubat nashuha. Sementara menurut Kristen, ampunan Tuhan terhadap dosa Adam dan istrinya harus menunda ribuan tahun untuk menunggu kelahiran Yesus. Lebih ruwet lagi, ampunan Tuhan itu dilakukan Tuhan dengan menjelma menjadi manusia untuk mati dibunuh di tiang salib.
Padahal sebagai Tuhan Yang Maha Pengampun, seharusnya Dia tak perlu repot-repot menempuh jalan rumit dengan menjelma menjadi manusia untuk dibunuh secara tragis di tiang salib. Betapa ruwetnya doktrin ini!
Nah Ini Dia, Jalan ke Neraka Penginjil
Setelah jungkir-balik menyelewengkan ayat-ayat Al-Qur'an untuk mendukung doktrin Kristen, Penginjil SIDI berusaha menyeret umat Islam menjadi seorang Kristen dengan bahasa khas Betawi, berikut kutipannya:
“Pegimané supayé bisé selamet? Kalo énté ngikutin lima langka ini, énté ada di jalan nyang bisa buat énté selamet. “Diselamatin” artinyé énté dilepasin dari iketan dosa, dibebasin dari hukuman api neraka, dikasi hidup kekel, amé bisa masuk sorga. Énté mulain periksa ati énté sendiri buat pastiin apé énté betul-betul mau diselametin:
(1) Tulisin dosa-dosa nyang pernah énté lakonin, nyang énté inget. (2) Akuin satu-satu semué dosa-dosa nyang énté udé tulis tadi kepadé Sang Penyelamet. Lakonin langka eni amé langka selanjutnyé sambil belutut amé bedoa. Inget néh, cuman doa yang diucapin amé hati yang sunggu-sunggu nyang diterimé Allah. (3) Minta amé Sang Penyelamat supayé daré-Nyé ngebersiin ati énté dari dosa. Isa Al-Masih mati, terus daré-Nyé ampé ngalir di kayu salib garé-garé dosa-dosa énté, tapi Dié idup lagi di ari nyang ketiga. Itu makényé, daré-Nyé adé kuasa buat ngapusin dosa-dosa. “Daré Isa Al-Masih, Anak Allah itu, ngebersiin kité dari segalé dosa” (Injil, 1 Yohanes 1:7).
(4) Serahin segalé dosa énté kepada Sang Penyelamat. Percayé kepadé Isa Al-Masih artinyé kite mau nyerain (percayain) dosa-dosa énté untuk Dié nyang mikul. “Dié sendiri udé mikul dosa kité waktu Dié menderité sengsaré di kayu salib....” (Injil, 1 Petrus 2:24). (5) Undang Sang Penyelamat masuk amé tinggal di dalem ati énté selama-lamanyé. Percayé kepadé Isa Al-Masih artinyé terima Dié jadi Penyelamat diri énté.
(1) Buatlah daftar tertulis dari semua dosa yang diingat yang pernah Saudara lakukan! (2) Akuilah semua dosa pada daftar tersebut satu persatu kepada Sang Juruselamat. Langkah ini dan seterusnya harus dilakukan dengan berlutut dan berdoa! Ingat, Allah hanya mendengarkan doa yang diucapkan dengan hati yang sungguh-sungguh. (3) Mintalah Juruselamat membersihkan hati Saudara dari dosa dengan darah-Nya. Yesus Kristus mati dan mencurahkan darah-Nya di kayu salib karena dosa-dosa Saudara, tetapi Ia bangkit kembali pada hari ketiga. Maka darah-Nya berkuasa menghapuskan dosa-dosa Saudara! “Darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita dari segala dosa” (Injil, 1 Yohanes 1:7). (4) Percayakan segala dosa Saudara kepada Sang Juruselamat. Percaya kepada Tuhan Yesus artinya mau menyerahkan (mempercayakan) dosa-dosa Saudara untuk ditanggung olehNya. “Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuhNya di kayu salib...” (Injil, 1 Petrus 2:24) (5) Persilahkan Sang Juruselamat masuk mendiami hati Saudara untuk selama-lamanya. Percaya kepada Isa Al-Masih artinya menerima Dia sebagai Juruselamat pribadi hidup Saudara.
Itulah lima langkah kemusyrikan menuju neraka Jahannam ajaran Penginjil Kristen.
Mengimani Yesus sebagai Tuhan Juru Selamat Penebus dosa adalah doktrin yang keliru menurut ayat Bibel sendiri. Kitab Yesaya menegaskan, sepanjang masa Tuhan dan Juru Selamat itu hanyalah Allah, tidak ada yang lain: “Demikianlah firman Tuhan... Sebelum Aku tidak ada Allah dibentuk, dan sesudah Aku tidak akan ada lagi. Aku, Akulah Tuhan dan tidak ada juru selamat selain daripada-Ku” (43:10-11).
Doktrin penebusan dosa oleh kematian Yesus di tiang salib sudah usang dan banyak digugat ilmuwan Kristen sendiri. Uskup John Shelby Spong menyerukan untuk menyingkirkan doktrin Yesus Juruselamat: “So we must free Jesus from the rescuer role.. Jesus portrayed in the creedal statement ‘as one who, for us and for our salvation, came down from heaven’ simply no longer communicates to our world. Those concepts must be uprooted and dismissed” (Why Christianity Must Change or Die, hlm 99).
(Oleh karena itu kita harus membebaskan Yesus dari kedudukannya sebagai Juruselamat... Yesus yang digambarkan di dalam pernyataan keimanan sebagai seseorang yang demi kita dan demi keselamatan kita, turun dari surga, sudah tidak cocok untuk alam kita sekarang ini. Ajaran ini harus dicabut dan disingkirkan).
Membuat daftar dosa secara tertulis untuk disesali dengan cara berlutut hadapan patung atau gambar Yesus Kristus, adalah perbuatan yang sia-sia dan bertentangan dengan ajaran Yesus sendiri. Dalam Bibel Yesus mengajarkan etika berdoa kepada murid-muridnya, yang dikenal dengan istilah “Doa Bapa Kami,” sbb:
“Bapa Kami di surga... ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami” (Matius 6:9-12, Lukas 11:2-4).
Jika Yesus mengajarkan, menyuruh dan memberi teladan untuk berdoa minta ampun kepada Tuhan, maka berdoa minta ampun kepada Yesus adalah ajaran sesat penginjil. Jika konsisten dan beriman kepada Yesus, berdoa dan minta ampunlah seperti yang dilakukan Yesus, yaitu berdoa kepada Allah SWT, Tuhannya Yesus.
Selain keliru dan berdosa, minta pengampunan dosa kepada Yesus semakin aneh, karena diiringi dengan i'tikad bahwa Yesus adalah penjelmaan (inkarnasi) Tuhan yang turun ke dunia untuk mati disalib menebus dosa warisan Adam.
Jika manusia yang berdosa, seharusnya manusia pula yang harus bertaubat Nashua minta ampun kepada Tuhan, lalu Tuhan mengampuninya karena Dia Maha Pengampun. Kalau manusia yang berdosa, mengapa Tuhan yang repot-repot malih rupa menjadi manusia lalu mati dibunuh untuk menebus dosa manusia? Gitu aja kok repot!!
 [A. Ahmad Hizbullah MAG/Suara Islam]
Diposting oleh Abu Adlan El Farisi

TATA CARA MANDI BESAR ( JUNUB )




Sebab-sebab diwajibkannya mandi :
1.       Keluar air mani,baik saat terjaga ataupun tidur
2.       Jima’ (berhubungan badan)
3.       Masuk islamnya orang kafir
4.       Terputusnya haidh dan nifas
5.       Haari jumat

Rukun mandi wajib ini menurut pandangan fikih ada 2 yaitu :
1.       Berniat
Karena inilah yang membedakan antara  mandi wajib dengan mandi biasa.
2.       Membasuh seluruh anggota tubuh
Karena Allah berfirman: “Dan jika kamu kandi junub,hendaklah bersuci” , maksudnya adalah mandi.

Adapun tata cara mandi wajib berdasarkan hadist Aisyah ra.dia berkata
“Adalah Rosulullah SAW jika hendak mandi janabah (junub),beliau membasuh kedua tangannya,kemudian berwudhu sebagaimana berwudhu untuk shalat.Lalu beliau mengambil air dan memasukkan jari jarinya ke pangkal rambut.Hingga beliau menganggap telah cukup,beliau tuangkan ke atas kepalanya sebanyak 3 kali tuangan.Setelah itu beliau guyur seluruh badannya. (HR.Albukhari-Muslim)

Dari hadist diatas maka urutan mandi wajib adalah :
1.       Membasuh kedua telapak tangan
2.       Membasuh kemaluan
3.       Berwudhu sebagaimana berwudhu untuk shalat
4.       Mencuci rambut dengan cara memasukkan jari jemari ke pangkal rambut
5.       Menuangkan air ka atas kepala sebanyak 3x atau mengambil air dengan kedua tangan kemudian menyapukannya ke kepala
6.       Mengguyur seluruh tubuh
7.       Membasuh kaki

Seorang wanita tidak wajib menguraikan (melepaskan) jalinan rambutnya ketika mandi karena junub,berdasarkan hadist berikut:
Dari Umu Salamah Radhiyallahu ‘Anha berkata :
“aku (umu salamah) berkata: “Wahai Rasulallah,aku dalah seorang wanita,aku menguatkan jalinan rambutku,maka apakah aku harus menguraikannya untuk mandi karena junub?” Beliau bersabda: “Tidak,cukup bsgimu menuangkan air ke atas kepalamu 3x kemudian engkau mengguyurkan air
Ke badanmu,kemudiqn engkau bersuci.” (HR.Muslim,Abu Dawud,An-Nasaai,At-Tirmidzi)
Wallahu a’lam…. (abudzar)