Tuesday 21 May 2013

MEMBANGUN JAMAAH YANG BERPRESTASI


Oleh: Ust. Abu Hadid

Kita telah memahami bahwa berjamaah adalah suatu hal yang wajib untuk ditegakkan. Bahkan, hari ini pun kita melihat begitu banyak jamaah-jamaah yang bermunculan di sekitar kita. Persoalannya, sudahkah jamaah yang kita ikuti, atau jamaah-jamaah lain memunculkan prestasi yang berharga dalam pandangan Allah dan umat Islam? Mari kita simak dalam ulasan berikut
 Al-Jama’ah, nama yang tidak asing bagi ummat Islam. Karena kata jama’ah sendiri telah menjadi bagian dari rutinitas hidup ummat Islam, contohnya seperti jama’ah shalat, maka sebutan jama’ah shalat sudah sangat lumrah di telinga kaum muslimin saat ini.
Sekalipun nama jama’ah secara umum telah cukup dikenal oleh mayoritas umat, akan tetapi jika kata jama’ah terkait dengan mekanisme kepemimpinan dalam Islam, dalam arti berkumpul bersama di bawah seorang amir, maka ummat akan memiliki pandangan dan penilaian yang bermacam-macam terhadap kata jama’ah itu sendiri. pasalnya ummat terlanjur asing dengan kata jama’ah dalam pengertian tersebut.
Keterasingan ini diperparah dengan munculnya pelaksanaan kepemimpinan dalam wujud Demokrasi. Sehingga umat semakin lupa bahwa jama’ah dalam konteks berkumpul di bawah seorang amir adalah kewajiban, sebagai sarana untuk mewujudkan kepemimpinan Islam dalam wujud yang sebenarnya yakni Daulah maupun Khilafah Islamiyyah. Berbagai pandangan dan penilaian dengan kata jama’ah tentu sangat beragam ada yang memberikan dukungan, ada yang menyikapi dengan biasa saja dan tidak sedikit pula yang sangat apriori dengan dengan istilah jama’ah
Walhasil, Al-Jamaah dalam arti berkumpul di bawah seorang amir yang ditaati, saat ini tumbuh subur di tengah kaum muslimin saat ini, khususnya di Indonesiawalaupun mayoritas tidak menerapkan konsep kepemimpinan jama’ah wa imamah, dengan berbagai alasan, tinjaun serta karakter yang berbeda-beda. Sekalipun demikian, munculnya banyak jama’ah kalau kita sadari sebenarnya banyak memiliki kesamaan, khususnya pada sisi motivasi yang dibangun jama’ah tersebut, sebab banyak orang mau berjama’ah atas dasar,  bahwa hidup berjama’ah adalah fitrah manusia serta adanya dorongan untuk mengembalikan kejayaan ummat Islam sebagaimana generasi dulu dalam bentuknya yang sebenarnya, yakni khilafah Islamiyyah.
 Dari banyaknya jama’ah yang ada, mungkinkah terpikir dalam benak kita saat ini, adakah jama’ah yang berprestasi? Apakah jama’ah yang berprestasi itu jama’ah kita atau jama’ah kaum muslimin yang lain? Dari mana kita bisa mengkatakan bahwa jama’ah kita atau jama’ah kaum muslimin yang lain berprestasi ? Siapa yang berhak memberikan penilaian atas berprestasinya jama’ah kita?
Atas berbagai pertanyaan di atas, saya amat yakin bahwa kita tidak mampu memberikan penjelasan dan gambaran yang jelas tentang jama’ah yang berprestasi sebagaimana yang saya singgung di atas. Ya! Inilah realitas jamaah-jamaah kaum muslimin saat ini, banyak jama’ah tapi miskin prestasi, sehingga jama’ah yang ada saat ini tidak mampu merubah keadaan ummat secara signifikan yang pada akhirnya ummat lepas dari belenggu kesyirikan dan kemaksiatan.
Pembaca sekalian, dari realitas di atas tentunya harus menjadi cermin bagi kita bahwa membangun jama’ah yang berprestasi adalah pekerjaan utama jajaran pengurus dan anggota jama’ah saat ini yang harus senantiasa di junjung tinggi untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi, seringkali para jajaran jama’ah kurang memiliki rasa optimisme yang tinggi untuk membangun jama’ah yang berprestasi tersebut, sehingga banyak muncul keraguan dan pertanyaan, salah satu pertanyaan yang seringkali hinggap yakni sulitkan membangun jamaah yang berprestasi itu?
Atas pertanyaan tersebut, jawabannya sangatlah sederhana,  TIDAK SULIT jika kita mampu mengenal dan sekaligus menterjemahkan makna ”berprestasi” secara nyata di tengah-tengah kita beramal dan beraktivitas dalam berjama’ah.
Akan tetapi jika hidup berjama’ah tersebut hanya kita pandang sebagai rutinitas yang biasa sebagai pembeda dengan kaum muslimin lainnya, atau hanya sekedar ikut-ikutan, tidak punya visi dan misi ke depan yang jelas dalam membangun jama’ah, manajemen yang ditetapkan hanya sebatas asal jalan semata, tidak memiliki konsep perjuangan yang jelas, serta langkah program yang nyata, maka jama’ah tersebut mustahil akan menjadi jama’ah yang berprestasi.
Jangankan berprestasi dalam pandangan Allah juga  di mata umat Islam, berpretasi dalam internal jama’ahnya sendiri saja sulit untuk mengenalinya. Untuk itu, saatnya kita untuk tidak asal berjama’ah, tetapi berjama’ah lah dengan motivasi untuk memiliki nilai prestasi bersama, tidak sekedar menjadi anggota jama’ah, tetapi bangunlah jama’ah kita agar memiliki manfaat untuk internal jamaah dan maupun ummat secara luas dalam setiap program dan kiprah kita di tengah-tengah ummat. 
Lalu apa saja yang menjadi dasar atau tolak ukur berprestasinya sebuah jama’ah ? Ada beberapa hal yakni :
1.                  Jama’ah yang berprestasi itu harus dikenal ummat secara luas,
Khususnya dalam kondisi normal dan damai, apa yang harus dikenalkan pada umat? Antara lain Aqidah dan Manhaj Jama’ah, Konsep perjuangan dan pembelaannya pada umat, ide-ide dan gagasan yang dibawa jama’ah tersebut, sehingga umat akan paham apa yang mendasari jama’ah tersebut dalam memperjuangan Islam, sedangkan bagi jama’ah yang tidak dikenal akan sulit mendapatkan dukungan umat secara nyata, sekalipun jamaah tersebut telah berkiprah di tengah umat selama puluhan tahun.
2.                  Harus ada yang memberikan penilaian prestasi jamaah tersebut.
Hal ini penting, untuk melihat apakah jamaah tersebut benar-benar berprestasi atau pura-pura memiliki prestasi? Dalam persoalan ini mungkin kita bertanya siapa yang pantas memberikan penilaian atas berprestasinya jama’ah? Yang jelas ada dua penilaian untuk kita jadikan pedoman,  yakni :
a.       Penilaian menurut mizan Allah Swt,
Penilaian ini bersifat ketetapan Allah semata, pihak jama’ah hanya berkewajiban dan berusaha untuk beramal melengkapi syarat-syarat prestasi yang sesuai dengan aturan Allah dan RasulNya, yakni Ikhlas dan sesuai dengan Sunnah Rasulullah Saw), penilaian ini harus menjadi tugas dan program jama’ah yang memperjuangan Islam, tanpa kecuali
b.      Penilaian menurut mizan (timbangan) ummat Islam,
Penilaian dalam mizan ummat, sebenarnya mudah untuk didapatkan sekaligus diukur oleh setiap jama’ah. Karena penilaian umat Islam akan selaras dengan fitrah setiap manusia, salah satu contohnya, barangkali jika ada sebuah jama’ah yang mampu menerapkanmahkamah syariah untuk ummat, kemudian istiqomah dalam menjalankannya dengan baik.
Makaummat Islam secara fitrah pun akan merasa nyaman jika dirinya ingin mendapatkan penyelesaian perkaranya dengan jama’ah tersebut. Pada saat sistem hukum kufar buatan manusia sudah tidak mampu lagi memberikan rasa keadilan pada ummat Islam, maka ummat seara fitroh pun akan merasakan keyamanan pada jamaah tersebut, karena tidak hanya perkaranya selesai dengan baik,  tetapi dirinya juga telah menetapi hukum Alallah Swt sebagai wujud Ibadah di hadapan Allah Swt.
Yang perlu dicatat adalah bahwa  penilaian ini murni dari ummat atas kesungguhan, kerja keras dan pengorbanan para pelaku-pelaku jama’ah. Tanpa ada kesungguhan, kerja keras dan pengorbanan mustahil umat akan menilai kita sebagai jama’ah yang berprestasi dan perlu diingat pula bahwa penilaian prestasi tersebut bukan penilaian jamaahnya sendiri atau bahkan penguasa yang sedang berkuasa yang menilai prestasi jamaah.
3.                  Harus ada indikator yang jelas dalam menilai jama’ah yang berprestasi
Jika demikian apa indikator-indikator tersebut?
a.       Prinsip-prinsip perjuangan yang dibangun jama’ah, prinsip ini mendasari pada kesuaian jama’ah tersebut pada Al-Haq
b.      Mampu menjaga keistiqomahan dalam memegang prinsip tersebut secara ilmiah, baik pada anggota internal maupun kaum muslimin secara umum jika mempertayakan prinsip perjuangan yang dibawa jama’ah 
c.       Penataan manajamen jamaah secara baik, diseluruh instrumen jama’ah, bukan manajemen asal jalan, tapi manajemen yang terukur, terkendali dan sekaligus terkontrol secara baik.  
d.      Keberpihakan pada ummat sangat nyata dan ummatpun merasakan keberpihakan jama’ah pada mereka, baik secara sosial, hukum, moral dan sebagainya, tentunya dengan berlandaskan pada mizan Allah. Bukan sekedar keberpihakan yang membuta.

Yang perlu dicatat pada point ini adalah,  bahwa indikator prestasi ini bukan banyaknya aset atau personal jama’ah, akan tetapi jama’ah yang mampu mendorong ummat untuk kembali pada Islam secara totalitas, dengan menerapkan syariah Islam di atas segala-galanya.

Dari penjelasan di atas, seharusnya memberikan pelajaran pada kita untuk membangun jama’ah yang berprestasi dengan sebaik-baiknya. Tanpa adanya prestasi, jama’ah tersebut tidak akan merasakan nikmatnya berjama’ah. Karena adanya prestasi yang mampu dirasakan ummat, akan sangat membantu mendorong dan memacu para jajaran jama’ah untuk beramal lebih  baik lagi dalam wadah jama’ah. Semoga jamaah yang berprestasi tidak hanya menjadi slogan semata, tapi benar-benar wujud dalam setiap langkah gerak kita membangun jamaah.

Saturday 2 March 2013

DO’A ADALAH SENJATA UTAMA

Dalam eskpedisi jihad, suatu ketika Qutaibah bin Muslim mengumpulkan para tokoh tokoh untuk konsolidasi, namun beliau kehilangan satu di antara mereka yakni muhammad bin waasi’, beliau memerintahkan salah seorang pasukannya untuk mencari beliau. Ternyata di dapatkan bahwa beliau sedang mengangkat tangannya untuk berdo’a.Hal itu di laporkan kepada Qutaibah bin Muslim. Beliau berkata : Biarkanlah ia demi Allah Muahmmad bin Waasi’ itu lebih aku sukai dari pada seribu bila pedang pilihan yang di pegang oleh seribu orang jagoan.
Diriwayatkan oleh muslim bahwa ada tiga orang yang terjebak di dalam gua dan akhirnya hanya dapat selamat dengan do’a. kita pernah pula mendengar bahwa imam Ahmad mendo’akan seorang ibu yang lumpuh. Seketika ibu tersebut sembuh dari sakitnya. Kisah tentang betapa ampuhnya do’a tersebut amat banyak kita dapatkan pada masa salaf. Bahkan sahabat Sa’ad bin Abi waqosh tidak pernah tertolak do’anya.
Namun hari ini, betapa kita kehilangan keampuhan do’a yang merupakan senjata bagi orang mukmin. Bukan berarti do’a sudah tidak layak lagi untuk di terapkan pada abad modern ini, bukan pula karena Allah tidak sudi lagi mengkabulkan do’a hambanya, namun keampuan tersebut lenyap karena adanya penghalang yang dilakukan oleh manusia sendiri. Karena mereka melanggar aturan yang telah di gariskan oleh Allah yang menyebabkan terhalangnya do’a Pelanggaran tersebut berupa makan minum dan memakai sesuatu dari yang haram.
Di abad milinium ini, tak terbilang lagi banyaknya jenisnya makanan, minuman pakaian ataupun kosmetika yang muncul dengan berbagai kemasan dan merk. Ironisnya kaum muslimin tidak selektif dalam memilah dan memilih barang barang yang mereka konsumsi di samping minimnya pengetahuan mereka tentang jenis barang barang yang haram. Barangkali inilah masa yang di janjikan oleh Rosululloh :
“ Akan ada di antara umatku yang memakan beraneka ragam makanan dan minuman, berpakaian dengan segala macam jenis pakaian dan asal bicara, mereka itulah seburuk buruk ummatku” ( HR Thobroni )
Akibat buruk dari barang barang haram tersebut amat banyak namun kalau saja tidak ada akibat lain dari mengkosumsi barang haram selain terhalangnya do’a, maka ini adalah mala petaka yang besar karena orang orang yang telah kehilangan keampuhan do’anya berarti dia telah kehilangan senjata yang paling ampuh untuk meraih cita citanya. Ibnul qoyyim berkata : Do’a merupakan sarana yang paling ampuh untuk mendapatkan sesuatu yang di cari dan menolak sesuatu yang di benci.
KEUTAMAAN BERDO’A
Allah Ta’ala berfirman :
وقال ربكم اعوني أستجب لكم إن الذين يستكبرون عن عبادتي سيدخلون جهنم داخرين ( المؤمن : 60 )

“Dan robmu berfirman : Berdo’alah kepada-KU niscaya akan KU perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang orang yang menyombongkan diri dari menyembahku akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina dina.” ( QS Al Mu’min : 60 )

Dan firman Allah yang lain :
وإذا سألك عبادي عني فإني قريب أجيب دعوة الداع إذا دعاني فايستجيبوا لي وليؤمنوا بي لعلهم يرشدون ( البقرة :186 )

"Dan apabila hamba hamba KU bertanya kepadamu tentang Aku maka jawablah,bahwasanya Aku adalah dekat Aku mengabulkan permohonan orang orang yang mendo’a apabila ia berdo’a kepada Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran." ( QS Al Baqoroh : 186 )

Nabi bersabda :

ألدعاء هو العبادة قال ربكم أدعوني أستجب لكم


Do’a adalah ibadah. Rob kalian telah berfirman : Berdo’ala kepada-Ku niscaya Akan Ku perkenankan bagimu . ( Abu dawud 2/ 78, At Tirmidzi 5/ 211, Ibnu Majah 2/ 1258 )

Nabi juga bersabda :
إن ربكم تبارك وتعالى حيي كريم يستحيي من عبده إذا رفع يديه إليه أن يرد هما صفرا .

"Sungguh, Rob kalian Maha pemalu dan pemurah.Ia malu kepada hambaNya apabila ia mengangkat kedua tangannya kepadaNya, jika Ia mengembalikan kedua tangannya itu dalam keadaan kosong ( tidak di kabulkan Doanya )"
( HR Abu dawud 2/ 78, At Tirmidzi 5/ 557, Ibnu Majah 2/ 1271 Ibnu hajar mengomentari : sanadnya jayyid )

Nabi juga bersabda :
ما من مسلم يدعوا الله بدعوة ليس فيها إثم ولا قطيعة رحم إلا أعطاه الله بها إحدى ثلاث إما أن تعجل له دعوته وإما أن يدخرها له في الأخرة وإما أن يصرف عنه من السوء مثلها قالوا إذا نكثر قال الله أكثر

"Tidaklah seorang muslim berdo’a kepada Allah dengan permintaan yang di dalamnya tidak terdapat dosa atau permutusan silatr rohim kecuali Allah pasti memberikan kepadanya, karena do’a itu sala satu dari tiga Hal : Bisa jadi Allah segera mengabulkan do’anya itu, atau Dia menyimpan do’a untuknya di akherat atau Dia menghindarkannya dari keburukan yang sebanding dengan do’anya Para sahabat berkata : jika demikian kami akan memperbanyak do’a. Beliau bersabda : Allah lebih banyak lagi pemberiannya.( HR At Tirmidzi 5/ 566, dan 5/ 462, Ahmad 3/ 18 )

  
ADAB ADAB BERDO’A DAN SEBAB SEBAB DI KABULKANNYA DO’A
1.      Keikhlasan kepada Allah
2.      Memulai do’a dengan membaca hamdalah dan sholawat Nabi, juga mengakhirinya dengan itu.
عن فضالة بن عبيد رضي الله عنه قال :سمع رسول الله صلى الله عليه وسملم رجلا يدعو في صلاته لم يمجد الله تعالى ولم يصل على النبى فقال رسول الله : ((عجل هذا ثم دعاه فقال له أو لغيره : إذا صلى أحدكم فليبدأ بتحميدربه سبحانه والثناء عليه ثم يصلى على النبى ثم يدعو بعد بما شاء (رواه الترميذى حديث حسن صحيح )
Dari fadholah bin ubaid:Rosululloh SAW mendengar seorang laki laki berdo’a dalam sholatnyayang tidak memuji Allah Ta’ala dan tidak bersholawat atas Rosul, maka Rosululloh SAW bersabda :
3.      Sungguh sungguh dalam berdo’a dan yakin akan di kabulkan.
4.      Banyak mengulang do’a dan tidak tergesa gesa untuk di kabulkan.
5.      Kehadiran hati sewaktu berdo’a.
عن أبى هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسملم : (( ادعو الله وأنتم موقنون بالإجابة واعلموا أن الله تعالى لا يستجيب دعاء من قلب غافل لاه ( رواه الترميذى اسناده ضعيف )
 
“Dari Abi Huroiroh ra ia berkata : Rosululloh SAW bersabda : berdo’alah kepada Allah dan kamu yakin do’amu akan di kabulkan , dan ketahuilah bahwasanya Allah Ta’ala tidak mengabulkan do’a orang yang hatinya lalai.( HR Tirmidzi sanadnya lemah )
6.      Berdo’a baik dalam keadaan lapang maupun berat.
7.      Hanya berdo’a kepada Allah semata mata.
8.      Tidak berdo’a untuk kejelekan : keluarga, harta, anak dan diri sendiri.
9.      Merendahkan suara dalam berdo’a, tidak terlalu pelan dan tidak terlalu keras.
10.    Mengakui dosa dan beristighfar ( memintak ampunan ) kepada Allah. Mengakui nikmat dan bersyukur kepada Allah terhadap nikmat-NYa.
11.    Tidak perlu membuat kalimat bersajak di dalam berdo’a.
12.    Rendah hati, khusyu’, di sertai perasaan berharap dan takut.
13.    Mengembalikan apa saja yang di peroleh secara Dzalim, di iringi dengan taubat.
14.    Berdo’a tiga kali.

عن ابن مسعود رضي الله عنه : ((أن رسول الله صلى الله عليه وسملم كان يعجبه أن يدعو ثلاثا ويستغفر ثلاثا ( رواه أبو داود )

 “Dari ibnu mas’ud : bahwasanya Rosululloh suka berdo’a tiga kali dan beristighfar tiga kali.” ( HR Abu dawud )
15.    Menghadap kiblat.
16.    Mengangkat tangan ketika berdo’a.

عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال : كان رسول الله صلى الله عليه وسملم إذا رفع يديه في الدعاء لم يحطهما حتى يمسح بهما وجهه. ( رواه الترميذى قال إنه حديث صحيح )

 “Dari Umar bin Khotthob ra   ia berkata : Rosululloh SAW jika berdo’a mengangkat kedua tangannya dan tidak menurunkan kedua tangannya sanpai beliau mengusapkannya kewajahnya.” ( HR Tirmidzi ia berkata : Sesungguhnya ini adalah hadits yang shohih )
17.    Berwudhu sebelum berdo’a, apabila bisa di lakukan dengan mudah.
18.    Jangan sampai berlebih lebihan dalam berdo’a.
19.    Hendaklah memulai berdo’a untuk diri sendiri, apabila hendak mendo’akan orang lain.
ربنا اغفرلي ولوالدي وللمؤمنين يوم يقوم الحساب ( إبراهيم : 41 )

“ Ya Allah Rob kami beri ampunlah aku dan kedua bapakku dan sekalian orang orang mukmin pada hari terjadinya hisab “ ( QS Ibrohim : 41 )

رب اغفرلي ولوالدي ولمن دخل بيتي مؤمنا وللمؤمنين والمؤمنات ( نوح : 28 )

“ Ya Robku, ampunilah aku, ibu bapakku, orang orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang orang yang beriman laki laki dan perempuan “ ( QS Nuh : 28 )

20.    Bertawasul kepada Allah dengan nama nama-Nya yang indah dan sifat sifat-Nya Yang Maha Tinggi dengan amal sholih yang pernah di lakukan, atau dengan perantaraan do’a orang sholih yang masih hidup dan berada di hadapannya.
21.    Hendaklah makanan dan pakaian orang yang berdo’a itu halal.
Tidak berdo’a, memintak sesuatu yang mengandung dosa atau permutusan hubungan silaturrohim
ما من مسلم يدعوا الله بدعوة ليس فيها إثم ولا قطيعة رحم إلا أعطاه الله بها إحدى ثلاث إما أن تعجل له دعوته وإما أن يدخرها له في الأخرة وإما أن يصرف عنه من السوء مثلها قالوا إذا نكثر قال الله أكثر

"Tidaklah seorang muslim berdo’a kepada Allah dengan permintaan yang di dalamnya tidak terdapat dosa atau permutusan silatr rohim kecuali Allah pasti memberikan kepadanya, karena do’a itu sala satu dari tiga Hal : Bisa jadi Allah segera mengabulkan do’anya itu, atau Dia menyimpan do’a untuknya di akherat atau Dia menghindarkannya dari keburukan yang sebanding dengan do’anya Para sahabat berkata : jika demikian kami akan memperbanyak do’a. Beliau bersabda : Allah lebih banyak lagi pemberiannya."(HR At Tirmidzi 5/ 566, dan 5/ 462, Ahmad 3/ 18 )


22.    Hendaklah melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
23.    menjauhkan diri dari seluruh perbuatan maksiat.
Akhirnya marilah kita bermuhasabah terhadap apa yang telah kita kerjakan, betapa kerapnya do’a kita panjatkan kepada Allah, betapa seringnya kita mendengarkan istighitsah kubro di gelar, namun mengapa bangsa ini belum juga mentas dari multi krisis yang menerpa ? Apakah hal ini di sebabkan akrabnya masyarakat kita dengan barang barang yang haram maupun yang syubhat. Ataukah mereka hanya berdo’a namun dalam waktu yang bersamaan menetang hukum hukum Allah dan tidak mau tunduk dengan aturan aturan-Nya ?
Ya Allah kabulkanlah do’a kami, sesungguhnya Engkau Maha mengabulkan do’a.
 Oleh : Nafi’

sumber : http://www.ansharuttauhid.com/read/publikasi/169/doa-adalah-senjata-utama/